![]() |
Basuki T Purnama, |
TRIBUNHARIAN.COM, JAKARTA - Polemik boleh tidaknya gelar perkara secara terbuka, menjadi perdebatan baru dalam kasus dugaan penistaan yang dilakukan Gubernur nonaktif Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok). FPI dan MUI meminta Bareskrim tidak menggelar perkara Ahok ini secara terbuka.
Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, posisi kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok masih dalam tahap penyelidikan.
Menurut dia, sesuai Pasal 1 angka 5 KUHAP, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang tersebut.
Sementara itu, lanjut Ismail, gelar perkara adalah teknis kerja Kepolisian yang biasa dikenal dalam proses penyidikan. Jadi pada tahap penyelidikan, dia menilai tidak ada dasar hukum penyelenggaraan gelar perkara, meskipun praktiknya kepolisian sering melakukan gelar perkara.
"Dengan demikian, ada atau tidak adanya dasar hukum gelar perkara pada tahap penyelidikan tidak perlu menjadi perdebatan, karena pada dasarnya gelar perkara hanyalah teknik kerja penyidik dalam menentukan ada atau tidaknya dugaan tindak pidana," kata Ismail di Jakarta, Rabu (9/11).
Dalam kaitannya dengan kasus dugaan penistaan agama, Ismail mendukung Bareskrim Polri melakukan gelar perkara terbuka terhadap Ahok.
"Maka tidak ada pilihan lain kecuali dengan gelar perkara terbuka sehingga independensi penyidik bisa dikontrol," ujarnya.
Menurut Ismail, dasar gelar perkara terbuka dan dilakukan pada tahap penyelidikan secara implisit dimungkinkan sebagaimana diatur pada Pasal 71 Peraturan Kapolri Nomor 14/ 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
"Satu hal yang harus dipastikan adalah gelar perkara hanya melibatkan unsur-unsur yang relevan, pelapor, terlapor, penyidik, dan bagian pengawasan penyidik (Wasidik) Polri," ungkap Ismail.
Ismail menilai rencana Polri melibatkan anggota Komisi III DPR dalam gelar perkara adalah kekeliruan, karena Komisi III bukan penyidik dan bukan penegak hukum. Terlibatnya anggota Komisi III DPR dalam gelar perkara itu dikhawatirkan akan mengikis independensi polisi.
"Gelar perkara terbuka adalah kreasi teknik kerja institusi Polri untuk menepis keraguan publik atas independensi Polri dalam kasus ini dan tidak melanggar hukum," ujar Ismail.
Dalam kesempatan berbeda, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol Martinus Sitompul mengatakan, Polri belum menentukan teknis gelar perkara terbuka terkait kasus Ahok.
Pembahasan soal gelar perkara sudah dilakukan secara internal, tetapi format final yang akan digunakan belum ditentukan.
Namun bagi pengamat politik Lingkar Madani Ray Rangkuti, Polri harus menjelaskan dasar hukum gelar perkara ini. Alasannya, kata Ray, gelar perkara terbuka merupakan kasus yang baru terjadi pertama kali di Indonesia. Dasar hukum sangat perlu agar tidak terjadi implikasi yang lebih hebat di masa mendatang.
"Harus dijelaskan dasar hukumnya seperti apa. Kalau semua gelar perkara terbuka ya semuanya terbuka dong. Meskipun saya pahami kenapa itu dilakukan Polri (untuk menjawab aksi demonstrasi), tapi Polri tidak boleh karena desakan massa dan sekalipun Presiden yang meminta," kata Ray.
BACA JUGA : Dipastikan tak ada korban jiwa dalam kebakaran Neo Soho
Sumber info : MERDEKA.COM
0 komentar:
Post a Comment